Kamis, 10 Maret 2016

PROPOSAL SKRIPSI STIE-SAK KERINCI

http://rinaldi323.blogspot.co.id/

EFESIENSI PENGOLAHAN DANA ALOKASI DESA
KECAMATAN AIR HANGAT BARAT


PROPOSAL
Ditulis untuk melengkapi tugas-tugas, untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (S.E)

Oleh :
R I N A L D I
NPM : 131004460201097











STRATA I PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
SAKTI ALAM KERINCI (STIE-SAK)
TAHUN 2016

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
                Kegagalan berbagai program pembangunan pedesaan di masa lalu disebabkan antara lain karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Pembangunan dilakukan dengan tidak aspiratif dan parsitipatif. Proses kebijakan pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralistis dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat. Akibat dari mekanisme perencanaan pembangunan yang tidak aspiratif dan kurang partisipatif tersebut, membuat hasil perencanaan dan proses pembangunan, terutama di tingkat Desa, menjadi tidak berkelanjutan. Sebagian besar kegiatan pembangunan merupakan program dari atas (Top down), sangat berorientasi proyek, dan menonjolkan ego sektoral. Padahal pembangunan Desa merupakan dasar dari pembangunan nasional, dan partisipasi masyarakat merupakan modal utama keberhasilan pembangunan.
            Kelahiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, memberikan kesempatan kepada masyarakat Desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan persyaratan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut, yakni diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan,keadilan, serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman daerah.
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa, Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Daerah di Indonesia akan dibagi menjadi daerah Provinsi, Kabupaten, Kecamatan Dan Desa.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik  (public service) dan meningkatkan perekonomian daerah. Pada dasarnya, terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektifitas pengolalan sumber daya daerah, dan memberdayakan serta menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang
Desa, desentralisasi tidak hanya dilaksanakan pada tingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota tetapi juga meluas sampai pada tingkat pedesaan. Secara historis, Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Negara Indonesia jauh sebelum Negara ini merdeka. Struktur
sosial sejenis masyarakat Desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi
institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat-istiadat dan hukum yang mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa merupakan wujud nyata dari sebuah Negara.
            Keberadaan Desa secara yuridis formal diakui dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini Desa diberi pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tidak terpisahkan dari penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan Desa merupakan unit terdepan (ujung tombak) dalam pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak strategis untuk keberhasilan semua program yang dijalankan pemerintah. Karena itu upaya untuk memperkuat Desa (pemerintahan Desa dan lembaga kemasyarakatan Desa) merupakan langkah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai hakikat dari otonomi daerah.
            Dengan demikian, dalam pengaturan pemerintahan Desa telah mengalami
perbedaan sudut pandang utama dalam hal kewenangan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaklumi tidak lagi campur tangan secara langsung tetapi memberikan pedoman, bimbingan, pelatihan dan pembelajaran kepada pemerintahan Desa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
Dengan posisi tersebut Desa memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang kesuksesan Pemerintahan Nasional secara luas. Desa menjadi garda
terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari Pemerintah. Hal ini juga sejalan apabila dikaitkan dengan komposisi penduduk
Indonesia bahwa sekitar 60 % (enam puluh persen) atau sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan permukiman pedesaan. Maka menjadi sangat logis apabila pembangunan Desa menjadi prioritas utama bagi kesuksesan pembangunan nasional.
            Pada pasal 68 tersebut, disebutkan bahwa salah satu dari sumber pendapatan Desa adalah adanya bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota diperuntukkan bagi Desa dengan jumlah paling sedikit 10% (sepuluh persen) dan dibagi secara proporsional pada masing-masing Desa. Bagian dari dana perimbangan itu disebut dengan Alokasi Dana Desa. Dalam ketentuan umum Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah dijelaskan tentang defenisi dari Alokasi Dana Desa. Dimana yang dimaksud dengan Alokasi Dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota untuk desa yang bersumber dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah bagi pemerintah Kabupaten/Kota.
Dasar pemberian Alokasi Dana Desa adalah amanat pasal 212 ayat (3) undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa khususnya pasal 68 ayat (1). Sedangkan mengenai tata cara perhitungan dan Alokasi Dana Desa diatur dengan Surat Edaran Mentri Dalam Negri Tanggal 22 Maret 2005 Nomor 140/640/Sj Perihal Pedoman Alokasi Dana Desa Dari Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Pemerintah Desa.
Pemberian Alokasi Dana Desa merupakan wujud pemenuhan dari hak Desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan asas desentralisasi dan demokrasi. Hal tersebut akan meningkatkan peran Pemerintah Desa dalam mempercepat pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah yang strategis, begitu juga dengan wilayah-wilayah yang tertinggal akan berkembang sesuai dengan sistem pembangunan tersebut.
Tujuan dari pelaksanaan Alokasi Dana Desa adalah untuk meningkatkan pembangunan Desa, baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik. Hal
ini berhubungan dengan indikator pembangunan Desa. Indikator pembangunan
desa tersebut meliputi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan masyarakat Desa dan tingkat kesehatan masyarakat. dengan diberikannya Alokasi Dana Desa diharapkan pembangunan fisik Desa yang selama ini jauh dari cukup dapat ditingkatkan. Jumlah Alokasi Dana Desa yang diterima oleh setiap desa berbeda.
Perhitungannya adalah dengan mempertimbangkan porsi dari Desa yang bersangkutan. Apa yang dimaksud dengan porsi tersebut tidak lain adalah perhitungan empiris yang lebih seksama antara kebutuhan dan potensi Desa. kebutuhan Desa yang diperhitungkan dari variable jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis dan potensi alam serta tingkat pendapatan masyarakat dan jumlah masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Sedangkan potensi Desa digambarkan dengan peluang penerimaan Desa, baik dari sektor pertanian maupun sektor lain. Perhitungan sendiri diharapkan melibatkan masyarakat atau kalau memungkinkan dilakukan sendiri oleh Desa.
Pemberian Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten Kerinci kepada Desa pada tahun 2014 secara yuridis pengaturannya ditetapkan  dalam Peraturan Bupati  Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Keuangan Desa Kabupaten Kerinci Tahun 2014, dimana disebutkan tujuan dilaksanakannya Alokasi Dana Desa di Kabupaten Kerinci adalah :
1.      Menangulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan; 
2.      Meningkatkan penyelenggraan pemerintahan desa dalam melaksnakan pelayanan pemerintahan,pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai dengan kewenangan;
3.      Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisifatif sesuai dengan potensi desa;
4.      Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat;
5.      Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa;
6.      Mendorong swadaya dan gotong royong masyarakat;
7.      Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat; 
Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2014 tanggal 6 Agustus 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Keuangan Desa Kabupaten Kerinci Tahun 2014 menjelaskan arah penggunaan Alokasi Dana Desa agar didasarkan pada  skala prioritas tingkat desa yang merupakan hasil dari Musyawarah rencana pembangunan desa, oleh karena itu tidak boleh dibagi secara merata ke dusun/RW/RT. Pelaksanaan Alokasi Dana Desa wajib dilaporkan oleh Tim Pelaksana Desa secara berjenjang kepada Tim Fasilitasi Tingkat Kecamatan dan Tim Fasilitasi Tingkat Kabupaten. Sistem pertanggungjawaban baik yang bersifat tanggung jawab maupun tanggung gugat diperlukan adanya sistem dan prosedur yang jelas sehingga prinsip akuntabilitas benar-benar dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2014 tanggal 6 Agustus 2014 tersebut menetapkan  pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan Alokasi Dana Desa yang dilaksanakan secara berjenjang, dimulai dari Tingkat Desa  sampai ke Tingkat Kabupaten. 
Untuk Tingkat Desa yaitu bahwa Tim Pelaksana Desa wajib menyampaikan laporan bulanan penggunaan Alokasi Dana Desa mencakup perkembangan pelaksanaan dan penyerapan dana dengan menggunakan Format pertangung jawaban yang telah ditetapkan DPPKAD, disamping itu pada setiap tahapan pencairan Alokasi Dana Desa Tim Pelaksana Desa wajib menyampaikan laporan kemajuan fisik dan non fisik yang merupakan visualisasi kemajuan kegiatan fisik dan non fisik kepada Tim Fasilitasi Kecamatan. Sedangkan pertanggungjawaban Alokasi Dana Desa terintegrasi dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBDes sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 6 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa.
Sedangkan asas adil ditempuh dengan mengalokasikan bagian Alokasi Dana Desa secara propersional berdasarkan variabel kemiskinan, pendidikan dasar, kesehatan, keterjangkauan, jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, jumlah dusun, dan jumlah aparat pemerintah desa.
Dengan memperhatikan Alokasi Dana Desa untuk masing-masing kecamatan tersebut Pemerintah Kabupaten Kerinci berharap penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik. Kecamatan Air hangat barat merupakan salah satu kecamatan yang baru di laksanakan pemekarannya di Kabupaten Kerinci sehingga sangat menarik untuk dilakukan penelitian tentang efektivitas pengelolaan Alokasi Dana Desa yang teranggarkan di tahun 2014. Selain itu penelitian di Kecamatan Air hangat barat ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kecamatan tersebut merupakan salah satu wilayah kerja yang sekaligus merupakan objek penelitian bagi peneliti dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Sementara itu World Bank (Haryanto, 2007:9) mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan  prinsip demokrasi dan pasar yang efisien. Selanjutnya Haryanto (2007:10) mengemukaan prinsip-prinsip Good Governance adalah adanya  partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, tumbuhnya transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan memadai, peduli pada stakeholder, berorientasi pada  konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta adanya visi strategis Good governance adalah sebuah kerangka institusional untuk memperkuat otonomi desa, karena secara substantif desentralisasi dan otonomi desa bukan hanya masalah pembagian kewenangan antar level pemerintahan, melainkan sebagai upaya membawa negara lebih dekat dengan masyarakat. Pemerintah lokal tidak akan kuat dan otonomi tidak akan bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal jika  tidak ditopang dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan responsivitas.  
Berdasarkan prinsip-prinsip Good Governance tersebut maka pengelolaan alokasi dana desa di Kabupaten Kerinci senantiasa menitik beratkan pada pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntabel selain partisipatif dan responsive, sehingga akan terwujud pelaksanaan good governance di tingkat pemerintahan desa. Di samping itu Pemerintah Kabupaten Kerinci juga memanfaatkan prinsip dimaksud sebagai media proses pembelajaran masyarakat sehingga memiliki kesadaran yang tinggi akan arti pentingnya pembangunan yang merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Keberhasilan Good  governane dimaksud juga ditentukan oleh para pengelola kegiatan di tingkat Desa sebagai ujung tombak pelaksanaan kegiatan di tingkat  bawah. Semakin tinggi tanggung jawab pengelola Alokasi Dana Desa maka akuntabilitas  pengelolaan Aalokasi Dana Desa akan semakin baik, demikian pula sebaliknya, semakin rendah tanggung jawab pengelola  maka akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa akan tidak baik. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Inspektorat Kabupaten Kerinci atas pengelolaan keuangan desa terhadap I dan II (satu dan dua) desa di wilayah Kecamatan Air hangat barat, khususnya untuk pengelolaan Alokasi Dana Desa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Secara umum pengelola tingkat Desa belum menyelenggarakan administrasi keuangan desa dengan baik dan benar. Kecamatan Air hangat barat dengan jumlah desa sebanyak 12 (dua belas) desa, terdapat 3 (tiga) desa atau 35 % (tiga puluh lima persen) yang belum melaksanakan pertanggungjawaban Alokasi Dana Desa sesuai dengan ketentuan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Daerah kabupaten Kerinci Nomor 6 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa, disebutkan bahwa dalam pelaksanaan Anggaran dan Belanja Desa (APBDesa) semua pengeluaran desa dilakukan melalui kas desa dengan didukung oleh bukti pengeluaran yang sah, selain itu Bendahara Desa wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran desa, dengan menggunkan sistem akuntansi yang berterima umum sesuai dengan Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Ditinjau dari hal tersebut maka pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa di wilayah Kecamatan Air hangat barat belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga perlu untuk dikaji dan dianalisa bagaimana sebenarnya pengelolaan Alokasi Dana Desa pada tingkat implementasi di lapangan?  Serta kendala-kendala apa yang dihadapi oleh para pelaku atau aparat pengelola, serta bagaimana menemukan upaya pemecahan untuk mengatasi permasalahan atau kendala adalah hal-hal yang mendorong untuk dilaksanakan penelitian di wilayah Kecamatan Air hangat barat.
1.2. Rumusan Masalah
            Keberhasilan pengelolaan Alokasi Dana Desa sangat tergantung dari berbagai faktor antara lain kesiapan aparat pemerintah desa sebagai ujung tombak pelaksanaan di lapangan, optimalisasi peningkatan implementasi SAP di tingkat desa, sehingga perlu sistem pertanggungjawaban pengelolaan Alokasi Dana Desa yang benar-benar dapat memenuhi prinsip akuntabilitas keuangan daerah. Bertitik tolak dari hal tersebut serta latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian  ini adalah: 
1.      Bagaimana sistem akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa di wilayah Kecamatan Air Hangat Barat Kabupaten Kerinci ?
2.      Mengapa pengelola Alokasi Dana Desa melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan belum sesuai dengan ketentuan ?
 1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sistem akuntabilitas  pengelolaan Alokasi Dana Desa serta apa yang menjadi penyebab pengelola Alokasi Dana Desa dalam pengelolaan administrasi keuangan belum memenuhi ketentuan yang berlaku.
1.4. Manfaat  Penelitian
Harapan penelitian ini dapat berguna bagi kalangan akademisi dan praktisi, yaitu antara lain:
1.5.1        Manfaat Teoritis, adalah sebagai sumbangan pengembangan ilmu administrasi keuangan,  khususnya dalam pengelolaan alokasi dana desa;
1.5.2        Manfaat Praktis, adalah sebagai sumbangan kepada Pemerintah Kabupaten Kerinci umumnya dan Pemerintah Kecamatan Air hangat barat khususnya untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa;

1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan  yang digunakan dalam usulan penelitian tentang  Efesiensi Pengolahan Dana Alokasi Desa  ini akan dibagi dalam lima bab yaitu: 
BAB I Pendahuluan,
terdiri dari latar belakang penelitian, bantasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Studi Pustaka,
terdiri dari landasan teori penelitian,penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran.
BAB III Metode Penelitian,
Terdiri dari Metode Penelitian, instrumen penelitian, lokasi dan waktu penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisis dan keabsahan data.
BAB IV Gambaran Umum Objek Penelitian
Terdiri dari sejarah objek penelitian, kondisi geografis, keadaan penduduk, agama, pendidikan, dan keadaan sosial ekonomi.
BAB V Analisis dan Pembahasan,
Terdiri dari definisi operasional variabel dan analisis data.
BAB VI Penutup,
 terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
STUDI PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian Efesiensi
Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, efisiensi adalah hubungan antara masukan dan keluaran, efisiensi merupakan ukuran apakah penggunaan barang dan jasa yang dibeli dan digunakan oleh organisasi perangkat pemerintahan untuk mencapai tujuan organisasi perangkat pemerintahan dapat mencapai manfaat tertentu.
Efisiensi juga mengandung beberapa pengertian antara lain :
1.      Efisiensi pada sektor hasil dijelaskan dengan konsep masukan- keluaran (input-output)
2.      Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan pengorbanan seminimal mungkin; atau dengan kata lain suatu kegiatan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran dengan biaya yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
3.      Efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dicapai dengan memperhatikan aspek hubungan dan tatakerja antar instansi pemerintah daerah dengan memanfaatkan potensi dan keanekaragaman suatu daerah.
Sedangkan arti kata efisien menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya), mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat, berdaya guna, bertepat guna. Sedangkan definisi dari efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuan-tujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mencari cara-cara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya dapat dievaluasi dengan penilaian-penilaian relatif, membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima. Misalnya suatu pekerjaan dapat dikerjakan dengan cara A dan cara B. Untuk cara A dapat dikerjakan selama 1 jam sedangkan cara B dikerjakan dengan waktu 3 jam. dengan begitu dengan cara A (cara yang benar) baru bisa dikatakan cara yang efisien bila dibandingkan dengan cara B.
Faktor penentu efisiensi adalah :.
1.      Faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan.
2.      Faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan baik itu struktural maupun fungsional.
3.      Faktor sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja, maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta dana keuangan.
4.      Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaanya baik pimpinan maupun masyarakat.
5.      Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.
Adapun cara untuk mencari tingkat efisiensi dapat digunakan rumus sebagai berikut:
Efisiensi = Input Target/Input Aktual >=1
 Jika input yang ditargetkan berbanding input aktual lebih besar atau sama dengan 1 (satu), maka akan terjadi efisiensi. Dan Jika input yang ditargetkan berbanding input aktual kurang daripada 1 (satu), maka efisiensi tidak tercapai.
2.1.2 Pengertian ADD
            Dalam rangka peningkatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah desa sebagai unit pemerintah terdepan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, perlu dana dalam pelaksanaannya. ADD murupakan dana yang dialokasikan oleh pemerintah untuk pembangunan pedesaan, yang bersumber dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang di terima oleh pemerintah kabupaten/kota setelah di kurangi belanja pegawai. Dana ini di harapkan untuk menjadi penyangga utama pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan  masyarakat desa. Dengan menggunakan forum musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbang desa) sebagai wadah berhimpunnya elemen yang ada dimasyarakat diharapkan akan menghasilkan sesuatu perencanaan yang pertisifatif, menimbulkan rasa tangung jawab bersama-sama terhadap kegiatan yang dilaksanakannya, saling menghormati dan mengawasi dalam semangat kebersamaan untuk kepentingan yang lebih besar dalam kegiatan pembangunan fisik dan non fisik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. ADD juga di programkan sebagai upaya menyatukan visi dan misi pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa di kabupaten kerinci khususnya pelaksanaan kegiatan di tingkat desa.
2.1.3 Maksud ADD
            Sebagai mana kita lihat didalam surat Mentri Dalam Negeri Republik Indonesi Nomor:140/690/SJ tanggal 22 maret 2005, tentang pedoman Alokasi Dana Desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa, bahwa maksud ADD adalah untuk membiayai program-program pemerintah desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat pedesaan.
2.1.4 Tujuan ADD
            Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 15 Tujuan Alokasi Dana Desa Adalah:
1.      Menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesinjangan.
2.      Meningkatkan perencanaan dan pengangaran pembangunan ditingkat desa dan pemberdayaan masyarakat.
3.      Meningkatkan pembangunan infrastruktur pedesaan.
4.      Peningkatan pengalaman nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya dalam rangka menwujudkan peningkatan sosial.
5.      Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat.
6.      Meningkatkan pelayanan pada masyarakatdalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
7.      Mendorong peningkatan swadaya dan gotong royong masyarakat.
8.      Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa.
2.1.5 Tahap Perencanaan
            Mekanisme perencanaan ADD dimulai dari Kepala Desa selaku penaggungjawab ADD mengadakan musyawarah desa untuk membahas rencana penggunaan ADD, yang dihadiri oleh staf pemerintahan desa, BPD, lembaga kerapatan adat, tokoh masyarakat, alim ulama, dan pemuda. Dan hasil musyawarah tersebut di tuangkan dalam rancangan pengunaan dana (RPD) yang merupakan salah satu bahan penyusun APB-Desa.
2.1.6 Tahap Pelaksanaan
            Pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik atau non fisik sebagai mana ditetapkan dalam APB-Desa yang telah disusun melalui musrenbang desa dan dilaksanakan oleh tim pelaksana desa, selanjutnya guna mendukung keterbukaan dan penyampaian informasi secara jelas kepada masyarakat, maka pada setiap pelaksanaan kegiatanfisik ADD di lengkapi dengan papan informasi kegiatan yang dipasang di lokasi kegiatan.
2.1.7 Pengolahan Alokasi Dana Desa
            Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 17 ayat 1 Pengunaan Alokasi Dana Desa ditetapkan sebagai berikut:
  1. Sebayak 30% digunakan untuk dana operasional pemerintahan desa dan BPD.
  2. Sebanyak 70% digunakan untuk kegiatan pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat.
2.1.8 Penyaluran Alokasi Dana Desa
            Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 18 ayat 1 dan 2 sebagai berikut.
  1. Penyaluran Alokasi Dana Desa dilakukan 2 (dua) tahap
  2.  Penyaluran sebagai mana disebutkan pada ayat (1) terdiri dari:
a.       Tahap  I sebesar 70% dari Total Alokasi Dana Desa.
b.      Tahap  II sebesar 30% dari Total Alokasi Dana Desa.

2.1.9 Pencairan Alokasi Dana Desa
Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 19 ayat 1 dan 2 sebagai berikut.
  1. Pencairan ADD dilakukan oleh Kepala Desa Dan Bendahara Desa.
  2. Desa yang belum memiliki Kepala Desa devinitif lebih dari 6 (enam) bulan, dan desa dalam sangketa dalam Pemilihan Kepala Desa atau Pemilihan BPD Tidak dapat melakukan Pencairan ADD.
2.1.10 Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 25 ayat (1) sebagai dengan (5) dan Pasal 26 ayat (1) sampai dengan (3) sebagai berikut:


2.1.10.1 Pasal 25 Pelaporan
  1. Untuk mengetahui perencanaan dan perkembangan terhadap pelaksanaan program dan kegiatan serta penggunaan dana ADD, maka pengelola ADD dan tim pengendali kecamatan harus membuat laporan perkembangan pelaksanaan dan penyerapan dana, serta permasalahan yang di hadapi berikut solusi pemecahannya.
  2. Bentuk laporan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.       Laporan awal yaitu laporan mengenai perencanaan fisik, pembangunan dan pemberdayaan yang disampaikan bersama dengan pengajuan rancangan APBDesa.
b.      Laporan berkala yaitu laporan mengenai pelaksanaan pengunaan dana ADD tahap I yang di sampaikan selambat-lambatnya pada triwulan III.
c.       Laporan akhir dari penggunaan dana ADD mencakup perkembangan pelaksanaan, penyerapan dana, masalah yang dihadapi dan rekomendasi penyelesaian hasil akhir penggunaan ADD yang disampaikan selambat-lambatnya pada akhir triwulan  IV.
  1. Laporan sebagai mana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui jalur struktural yaitu dari pengelola ADD ke pada tim pengendali kecamatan secara bertahap.
  2. Tim pengendali kecamatan menyampaikan laporan rekapitulasi dari selurh laporan pengelola ADD di wilayahnya kepada Bupati melalui tim pembina Kabupaten sesuai dengan jadwal waktu pada ayat  (2).
  3. Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan tugas tim pengendali kecamatan sebagai mana di maksud pada ayat (1), dapat di anggarkan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten.
2.1.10.2 Pasal 26 Pertanggungjawaban
  1. Kepala desa selaku pemegang kekuasaan pengelola keuangan dan asset desa bertanggungjawab terhadap pelaksanaan, penggelolaan dan pelaksanaan dan pengguna anggaran ADD dan wajib menyampaikan Surat Pertangungjawaban (SPJ) setiap tahap atas pengelolaan ADD berikut barang yang dikuasainya.
  2. Bentuk SPJ sebagai mana di sebut pada ayat (1) di atur dalam petunjuk teknis penggelolaan ADD Kabupaten Kerinci yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Bupati.
  3. SPJ sebagai mana dimaksud pada ayat (2) di sampaikan oleh kepala desa kepada PPK Kecamatan untuk di verifikasi kebenaran dan kelayakan, setelah itu kepala desa menyerahkan bukti pengesahan dan laporan realisasi penggunaan dana ADD kepada Inspektorat Kabupaten Kerinci dan Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kerinci.
2.1.11 Pembinaan
Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 27 ayat (1) sebagai dengan (4) sebagai berikut:
  1. Pelaksanaan pembinaan dilaksanakan oleh tim pembina ADD.
  2. Pembinaan sebagai mana di maksud pada ayat (1) meliputi memberikan pedoman, bimbingan, supervisi, konsultasi, mengawasi pengelolaan keuangan desa dan pendayagunaan asset.
  3. Tim pembinaan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.       Tim penyusun pedoman dan sosialisasi tingkat kabupaten yang ditetapkan dengan keputusan Bupati .
b.      Tim Monitoring, Evaluasi dan pembinaan pelaksanaan keuangan desa.
c.       Tim pendamping tingkat kecamatan yang di tetapkan dengan keputusan camat.
  1. Tugas dan tanggungjawab dari tim sebagai mana dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perturan bupati ini.
2.1.12 Monitoring dan Evaluasi
Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 28 ayat (1) sebagai dengan (3) sebagai berikut:
  1. Sekretaris desa selaku Koordinator Pengelola Keuangan Desa melakukan pemeriksaan kas bendaharawan desa sekurang-kurangnya 3(tiga) bulan sekali.
  2. PPK melakukan verifikasi atas bukti SPJ pengelola ADD, yang diterima dari pemerintahn desa yang bersangkutan.
  3. Monitoring dan Evaluasi terhadap kebenaran dan kelayakan pelaksanaan kegiatan ADD pada Desa dilaksanakan oleh BPMPDPP&KB.
2.1.13 Pengawasan
Dalam upaya mendukung keberhasilan otonomi daerah terdapat tiga aspek utama yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya (Mardiasmo, 2002 : 213). Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak luar (yang dipilih) untuk mengawasi kinerja pemerintah. Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk “ menjamin”  bahwa tujuan-tujuan organisasi menjadi tercapai ini berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan sesuai dengan yang direncanakan (Handoko, 1996: 359). Sedangkan definisi pengawasan  menurut Robert J. Mockler (dalam Handoko, 1996 : 360)  adalah :Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menerapkan standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan- penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.
Menurut Sujamto (1996 : 19) “Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”. Dari pengertian di atas, pengawasan mempunyai kewenangan yang lebih “forcefull” terhadap objek yang dikendalikan, atau objek yang diawasi. Dalam pengendalian kewenangan untuk mengadakan tindakan konkrit itu sudah terkandung di dalamnya, sedangkan dalam pengertian pengawasan tindakan korektif merupakan proses kelanjutan. Selanjutnya mengenai pengawasan  pemerintah pusat terhadap daerah dikemukakan Hossein (1997 ; 427) bahwa : “Hambatan terhadap efektifitas cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum berasal dari kedua belah pihak, baik daerah maupun pemerintah pusat. Hambatan dari daerah berupa rendahnya kemampuan administrasi daerah pada umumnya, sedangkan hambatan dari pemerintah pusat berupa tidak kondusifnya kebijakan nasional mengenai organisasi, kepegawaian dan kewenangan daerah yang dianut selama ini.
Dari seluruh pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kontrol pemerintah pusat kepada daerah adalah sangat kuat, sehingga pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena adanya pandangan perspektif yang berbeda, di satu pihak pemerintah pusat ingin agar daerah tetap menjadi sub- ordinasinya dan adanya kekhawatiran terjadinya disintegrasi bangsa serta keinginan daerah untuk melaksanakan dan mengelola pemerintah daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat secara mandiri di lain pihak. Membicarakan pengelolaan keuangan, tidak akan lepas dari adanya responsibility atau pertanggungjawaban pengelolaannya oleh pihak yang mengurusi, melaksanakan dan mengelola. Spiro (dalam Ndraha, 2000 : 108), mendefinisikan responsibility sebagai pertama, Accountability, perhitungan, laporan pelaksanaan tugas) yang disampaikan kepada atasan atau pemberi tugas (misalnya mandor) oleh bawahan atau yang diberi kuasa (misalnya mandatari) dalam batas-batas kekuasaan (tugas) yang diterimanya. Kedua,sebagai obligation (kewajiban) yaitu tanggung jawab seorang pejabat pemerintahan dihubungkan dengan kedudukannya sebagai warga negara (citizen’s political responsibility).Ketiga, responsibility sebagai cause. Cause adalah faktor yang menggerakan  seorang pejabat untuk melakukan sesuatu tindakan atau mengambil keputusan berdasarkan kehendak bebas (free will, free choice). Dengan adanya alat ukur responsibility di atas, maka dapat dilihat bahwa pemerintah desa bertanggung jawab atau tidak dalam melakukan pengurusan, melaksanakan dan mengelola keuangan desa sehingga pelaksanaan pembangunan di desa dapat terlaksana dengan lancar dan pelaksanaan otonomi sesuai dengan yang diharapkan. Selain pihak pemerintah desa yang harus bertanggung jawab, juga harus tercipta mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan keuangan yang benar. Selama ini mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan keuangan oleh Kepala Desa dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa, kemudian dilaporkan kepada Bupati. Badan Permusyawaratan Desa mempunyai kewenangan pengawasan yang cukup besar, karena mereka mewakili rakyat. Pengawasan memang seharusnya dilakukan terus-menerus secara preventif dan represif melalui struktur hierarkhi organisasi yang jelas, dengan kebijaksanaan tertulis, pencatatan atau hasil kerja secara tepat guna dan tepat  waktu sehingga pelaksanaan tugas berjalan sesuai rencana.
Untuk mengetahui penerapan prinsip akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa, pintu yang paling efektif adalah melalui pengawasan sehingga mulai dari tahap perencanaan sampai dengan paska kegiatan dapat berjalan efektif. Sedangkan pengawasan dilaksanakan dalam suatu proses dimana pelaksanaan melalui tahapan-tahapan tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Manullang (1991 : 183-184 ) yang menyatakan bahwa : “Proses pengawasan dimanapun juga atau pengawasan yang berobyek apapun terdiri dari fase sebagai berikut :
a.         Menetapkan alat ukur (standard)
b.         Mengadakan penilaian (evaluatif)
c.         Mengadakan tindakan perbaikan (corrective action)”.
Penetapan alat ukur diperlukan untuk membandingkannya dan menilai apakah kegiatan-kegiatan sudah sesuai dengan rencana, pedoman, kebijaksanaan serta peraturan. Pengukuran pelaksanaan dan perbandingannya berupa kegiatan penilaian terhadap hasil yang nyata- nyata dicapai melalui perbandingan terhadap apa yang seharusnya dicapai sesuai dengan tolok ukur yang telah ditentukan. Sedangkan tindakan perbaikan berupa penyesuaian terutama penyesuaian terhadap kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan serta dengan pemberian bimbingan atau sanksi.
Sebagai bagian dari aktivitas dan tanggungjawab, sasaran pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas. Menurut LAN ( 2000 : 145) , hasil pengawasan harus dijadikan bahan untuk: 
a.       Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban;
b.      Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban tersebut; 
c.       Mencari cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai tujuan dan melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Oleh karena itu pengawasan baru bermakna manakala diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut yang nyata dan tepat. Dengan kata lain, tanpa tindak lanjut pengawasan sama sekali tidak ada artinya.
2.1.14 Penetapan Alokasi Dana
Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 30 berikut:
Jumlah Alokasi Dana Desa (ADD) setiap tahun mempedomani Peraturan daerah tentang anggaran pendapatan belanja daerah yang besaran tiap desanya ditetapkan dengan keputusan Bupati.
2.1.15 Penghitungan Alokasi Dana Desa
Sesuai dengan Peraturan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2014 Pasal 31 berikut:
Penghitungan Alokasi Dana Desa untuk masing-masing desa dilakukan dengan menggunakan rumus yang mempertimbangkan faktor pemerataan dan keadilan serta potensi desa, dengan menggunakan rumus-rumus sebagi berikut:
  1. ADDX=ADDM+ADDPX
    Rumus Alokasi Dana Desa (ADDx) Pemerataan dan keadilan.

Keterangan:
ADDx  : Alokasi Dana Desa Untuk Desa x
ADDM : Alokasi Dana Desa Minimal yang diterima Desa
ADDpx : Alokasi Dana Desa Proposional untuk Desa x
x : Desa

  1. ADDpx=BDx*(ADD- ADDM)
    Rumus untuk menentukan pembagian dana proposional (ADDpx).

Keterangan:
ADDpx  : Alokasi Dana Desa Proposional untuk Desa x
BDx : Nilai Bobot Desa untuk Desa x
ADD : Total Alokasi Dana Desa
ADDM : Total Alokasi Dana Desa Minimal
x : Desa
  1. BDx=a1 KVx+a2 KV2+a3 KV3x+..........an KVnx
    Rumus untuk menentukan pembagian dana proposional (ADDpx).

Keterangan:
BDx : Nilai Bobot Desa untuk Desa x
KV1x,KV2x,KVnx : Koefisien Variabel Pertama,Kedua dan Seterusnya
a1,a2,a3......an : Angka bobot masing-masing Variabel
Keterangan:
KV 1,2,...x : Nilai koefisien variabel pertama,kedua,dan seterusnya untuk  desa x.
V 1,2,.....x  : Angka variabel pertama,kedua dan seterusnya untuk desa x
Vn : Jumlah angka variabel pertama,kedua, dan seterusnya untuk seluruh desa
2.2 Penelitian Terdahulu
Teori ini sepenuhnya mengikuti karya Weber yang menyatakan bahwa  individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Dengan demikian dapat diartikan bahwa aksi merupakan kemampuan individu  melakukan tindakan,  dalam arti menetapkan pilihan atau cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan yang hendak dicapai. Kondisi dan norma  serta situasi penting lainnya kesemuannya membatasi kebebasan aktor. Sementara proses pengambilan keputusan subjektif tersebut dibatasi oleh sistem budaya dalam bentuk norma-norma dan nilai sosial (Ritzer, 1992: 57). Teori Aksi dewasa ini tidak banyak mengalami perkembangan melebihi apa yang sudah dicapai tokoh utamanya Weber. Malahan teori ini sebenarnya telah mengalami semacam jalan buntu. Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan oleh Himkle dengan menunjuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parsons (dalam Ritzer, 1992 : 53-54) yaitu: 
a.       Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek; 
b.      Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan;
c.       Dalam bertindak manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapa tujuan tersebut;
d.      Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya,;
e.       Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan telah dilakukannya; 
f.       Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan, Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode Verstehen, imajinasi, sympatheic recontruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).
Teori Aksi ditempatkan ke dalam Paradigma Definisi Sosial oleh konsep voluntarisme Parsons  Aktor menurut konsep voluntarisme ini adalah pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak memiliki kebebasan total, namun ia memiliki kemampuan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma serta situasi penting lainnya kesemuanya membatasi kebebasan aktor, tetapi di sebelah itu aktor adalah manusia yang aktif, kreatif dan evaluatif (Ritzer, 1992:47) Parson (dalam Ritzer, 1992: 49) menyusun skema-skema tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut.:
  1. Adanya individu selaku aktor.
  2. Aktor dipandang sebagai pembuat tujuan-tujuan tertentu.
  3.  Aktor mempunyai aslternatif cara, alat, serta tehnik untuk mencapai tujuan.
  4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya mencapai tujuan.
  5. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai ide-ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Dari berbagai teori diatas  dapat diinterpretasikan bahwa akuntabilitas sangat diperlukan dalam keberhasilan semua kegiatan, sedangkan keberhasilan kegiatan Alokasi Dana Desa sangat ditentukan oleh para pengelola kegiatan, maka untuk mewujudkan    good governance di tingkat pedesaan.
2.3 Kerangka Pemikiran
            Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 2005 menyatakan bahwa salah satu sumber pendapatan desa diperoleh dari dana perimbangan pusat dan daerah yang di terima untuk Kabupaten/Kota Paling sedikitnya 10%. Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 5 Tahun 2007 tentang keuangan Desa, yang menyebutkan bahwa sumber keuangan Desa  berasal dari bagian dari perimbangan keuangan pusat daerah adalah terdiri dari dana hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dengan Dana Alokasi Umum setelah di kurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan lansung kepada desa untuk dikelola oleh Desa, dengan ketentuan 30% digunakan untuk operasional pemerintahan Desa dan BPD, dan 70% digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan ketentuan tersebut Pemerintah Kabupaten Kerinci Tahun  2007 mengatur pengalokasian dana ADD dengan peraturan Bupati Kerinci Nomor 5 Tahun 2007, tentang pedoman pelaksanaan Alokasi Dana Desa Kabupaten Kerinci Tahun yang menetapkan bahwa pelaksanaan Alokasi Dana Desa wajib di laporkan oleh tim pelaksana kegiatan desa dan pertangungjawaban Alokasi Dana Desa terintegrasi dengan pertangungjawaban APB-Desa sesuai dengan peraturan daerah Kabupaten Kerinci Nomor 5 Tahun 2007. Sedangkan pengawasan pelaksanaan Alokasi Dana Desa secara internal di laksanakan oleh Badan Permusyawatan Desa, serta masyrakat sebagai control social terhadap pelaksanaan Alokasi Dana Desa serta oleh Aparat Pengawas Internal Kabupaten yang merupakan pengawasan umum terhadap penyelengaraan pemerintah. Kerangka pemikiran Efesiensi Pengolahan Dana Alokasi Desa Kecamatan Air Hangat Barat Kabupaten Kerinci dapat di gambarkan dalam bagan kerangka pemikiran sebagai mana gambar 2.3 berikut.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
Dan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 140/690/SJ, Tanggal 22 Maret 2005
Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci
Nomor 5 Tahun 2007
Petunjuk Teknis Pengelolaan ADD
Kabupaten Kerinci
Pelaksanaan Kegiatan Alokasi Dana Desa
Di desa
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran














Tidak ada komentar: